Kaki
Gunung Merapi juga Kaki Gunung Merbabu. Tidak berjarak dekat namun dari
kejauhan kurang lebih 27 km masih terlihat jelas. Datarannya tinggi membuat
siang terasa terik pipi memerah. Malamnya dingin, tidur beralaskan tikar
berselimut kantung tidur.
Liburan
kuliah semester genap 10 mahasiswa yang tergabung dalam satu kelompok pada
kegiatan Kuliah Kerja Nyata singkatnya KKN menuju kota seribu bunga, Magelang.
Tidak tau bagaimana cara pembagiannya, dikertas ‘Plotting Mahasiswa’ ada saja
nama mereka. Baru bertemu beberapa kali, tau-tau sudah tau nama dan sifat
mereka.
Jalan
desa ramai toko memajangkan alat bersih-bersih. Sapu rayung dengan berbagai
macam bentuk dan namanya meski secara fungsionalitas masih sama. Apa ini alasan
desa Bojong nampak bersih?
Baru
saja datang, lelah perjalanan masih harus bersih-bersih posko. Rumah warga yang
kami sewa untuk ditinggali. Baru selesai sudah diwelingi1,
adatnya yang datang perlu berizin untuk tinggal. Kepala desa, kepala dusun, pak
rt rw mungkin cukup mewakili semua warga.
Dalam
percakapan kami bertanya bak dewa yang datang dari langit. Menawarkan solusi
namun sebatas latar belakang atau yang kami bisa lakukan. Tapi untuk mengenal
lebih dalam, tidak bisa lewat satu dua orang atau kata-katanya saja. Perjalanan
kami selama tenggat waktu 45 hari baru dimulai. Besok kami datangi lebih banyak
supaya kenal lebih dekat.
~~~
Kerennya
KKN kali ini bekerja sama dengan Kemendesa. Selama keberjalanan tentunya
perwakilan kemendesa yang diturunkan melalui duta digital dan kader digital
akan mendampingi kami untuk membangun desa cerdas. Memang entah apa yang
membuat banyak pendapat tentang desa yang terbelakang tentang kota yang maju.
Perbandingan keduanya yang terlihat kontras, membuat cetusan program kerja yang
akan kami jalankan dengan tajuk desa cerdas. Menteknologikan tradisional.
“Bagaimana
kalau sosialisasi cara pemasaran digital?”
“Mba
bisa bikin website?”
“Nanti
bikin video desa sekalian ya,”
“17
an nanti mau bikin acara nggak?”
“Kalau
jurusanmu pengabdian ke masyarakatnya gimana ya?
Percakapan
yang cukup panjang terjadi dalam menentukan apa yang nantinya akan
dipertanggungjawabkan. Kegiatan itu terlihat menarik bagi kami. Setelah
masing-masing mendapat program kerja, percakapan serius selesai. Ah, besok
tinggal jalan.
~~~
Sampai
kami lupa ternyata yang terlihat menarik bagi kami, tidak semuanya bisa
diterima. Ada banyak pertanyaan dari aparat dan perwakilan warga yang membuat kami
ragu. Lalu memutuskan untuk mengganti lagi.
“Kalau
pelatihan kamu ngajari yang jual apa ngajari kamu?”
“Ini
kayaknya yang minat kurang,”
“Punyamu
detail kegiatannya gimana?”
“Oke,
ini aja gapapa,” kalimat ini menyenangkan, namun terkesan seperti ya sudah mau
bagaimana lagi, kita coba dulu. Sisanya pilih ulang, diskusi lagi, sampai pada
titik akhir pemasrahan dan untungnya menemukan titik tengah.
~~~
Senin
minggu kedua, program kerja kami mulai dimulai. Timeline siap, pembagian matang
semua berjalan satu persatu menyelesaikan langkah-langkah menuju selesai. Satu
dua pergi ke sekolah dasar untuk meninjau. Lima pergi diskusi dengan aparat
desa ke balai desa meminta data atau keterangan. Sisanya berdiskusi dengan
pemuda warga setempat.
Untungnya
data yang kami butuhkan ada. Tersimpan rapi di meja, tersampaikan baik di muka.
Catatan atas kumpulan fakta yang akan kami gunakan nantinya akan kami olah sesuai
dengan kebutuhan program kerja.
Pembuatan
website dan video profil desa akan kami isi tentang kondisi, informasi, dan kegiatan
desa. Data UMKM akan kami pilah untuk menindaklanjuti pemasaran lewat digital
marketing dan pembuatan galeri. Murid sekolah dasar yang kami ajak untuk
melukis pot dan lomba 17 an. Kemeriahan 17 an dengan warga setempat juga ramai
dengan banyak kegiatan. Dan rangkaian kegiatan lainnya. Begitu ceritanya,
langkah awal baru selesai. Selanjutnya eksekusi.
~~~
Esok
paginya, bedug bertalu lalu adzan subuh berkumandang. Selesai sholat, kami
berbagi tugas. Para gadis suka berbelanja pergi ke pasar diantar para perjaka.
Sisanya membersihkan rumah, mencuci piring dan alat masak.
Menu
pagi ini oseng wortel buncis bakso dengan tempe mendoan. Mumpung masih pada
rajin memasak dan belanja. Setelah makan pagi ini dimulai dengan kunjungan dari
duta digital, perwakilan kemendesa wilayah Magelang.
“Gimana
proker kalian lancar?” tanya mba duta.
“Ya
lancar, mba. Kemarin kita dah dapat datanya jadi dah mulai bisa bikin
programnya. Buat yang UMKM masih lanjut survey,” jawab salah satu dari kami.
“Oiya,
besok minggu kan ada tampilan perwakilan kelompok buat acara pelatihan
jurnalistik kalian mau nampilin program kerja apa?”
“Loh
ada tho mba?” mulai panik.
“Iya,
kalau kelompok lain ada yang video kegiatan, ada yang sabun cuci tangan dari
limbah minyak,”
Pelatihan
itu menjadi program kerja utama dan besar saking banyaknya perwakilan mahasiswa
KKN se-Magelang yang ikut menjadi panitia. Kebingungan melanda ditengah
keputusan cepat yang harus diambil. Banyak usul yang disampaikan sampai memilih
satu yang sekiranya worth it untuk dipilih.
“Kalau
hasil survei UMKM dibikin katalog aja gimana mba?” usul salah satu dari kami
memecah keheningan.
“Boleh,
kelompok Bojong pakai katalog ya,”
~~~
Sisa
3 hari lagi sebelum acara puncak dimulai. Kegiatan mulai perlu terjadwal. Subuh
bangun, masak bersih-bersih, mandi sarapan, siap-siap lalu berangkat. Survei
dipilah dari data UMKM kemarin. Sekiranya berbeda dan menarik kami kunjungi.
Keterbatasan waktu menghalangi kami untuk meninjau keseluruhannya. Kami
menyusuri desa iring-iringan motor.
Tujuan
pertama, lahan tanah yang luas sempat menjadikan tempat ini sebagai taman.
Namun sepinya pengunjung saat pandemi membuat Pak Tris memilih memanfaatkan
lahannya menjadi objek lain. Sisa tanah kosong ia budidayakan ikan nila dengan kolam
lingkaran yang berjejeran. Budidaya dikelola menggunakan konsep budidaya Bio
Flok, yaitu proses yang menerapkan efiseiensi penggunaan air dan lahan. Sisa
limbah juga diolah kembali untuk pakan ikan lele. Wawancara berjalan cukup
lama, sembari mendengar cerita dan semangatnya.
“Tidak
ada belajar yang tanpa biaya dan pengalaman,” celetuk Pak Tris saat kami
tanyakan apa motivasi beliau bertahan sampai saat ini dengan usia yang tak lagi
muda.
Taman
itu masih terawat rapi dengan tatanan gazebo dan rerumputan yang rimbun untuk
bersantai bersama teman ataupun keluarga. Taman memang tidak seramai dan
semeriah pasar ataupun mall yang bisa menjajakan mata membeli kepuasan hati.
Setidaknya duduk bercerita disini sangat menenangkan dan lebih dekat.
~~~
Tujuan
selanjutnya, salah satu dari banyaknya pengrajin sapu rayung. Tangkai pelepah
rumput gelagah disatukan dan tersambung dengan gagang untuk membuat sapu rayung
dapat digunakan untuk membersihkan debu dan sampah. Usaha
yang turun temurun dilanjutkan oleh Pak Yono. Pengerjaan masih dilakukan dengan
tangan dari mulai pembuatan glintiran pinggiran sapu, menyambungkan sapu dengan
gagang, merapikan dan memperkuat sapu dengan dijahit, sampai pengemasan.
“Perhari
bisa buat sampai 50 biji sapu,” ungkap Pak Hartono.
“Untuk
pendistribusian sudah pernah pakai pemasaran digital, pak?” tanya salah satu
dari kami.
“Belum
pernah. Nggak berani juga. Kalau pakai aplikasi jualan gitu kan dijualnya
satu-satu, jadi ribet nggak ada yang ngurus juga. Kalau nanti ramai kewalahan nggak
ada yang bantu bikin sapunya. Pesenan dari yang toko-toko yang biasa dikirim
juga sudah banyak, sekali kirim rata-rata 250an sapu,”
“Kalau
nambah karyawan untuk membantu, pak?”
“Saya
kerjain semuanya sendiri. Kalau nambah orang takut kualitasnya beda,” jawaban
beliau membuat kami kebingungan. Biasanya orang senang bila banjir pesanan.
Tapi kali ini tidak. Tujuan kami membantu pemasaran digital mungkin tak sesuai
dengan tujuan beliau. Tak apa. Perbedaan tujuan ini membuat kami semakin tau,
bahwa permasalahan pemasaran datang bukan dari sisi sepi peminat saja namun
bisa dari sisi lainnya.
~~~
Begitu
selanjutnya selama 2 hari sampai kami sempat menemui 5 lagi tempat lainnya. Petang
selesai, kami pulang ke posko. Mandi bersih-bersih lagi. Saat makan malam matang,
pintu depan diketuk. Tamu dari pemuda setempat datang. Kami ikut berkumpul
ditengah ruangan menyambut.
“Gimana
2 minggu disini kerasan?” tanya salah satu dari pemuda.
“Ya,
alhamdulilah kerasan mas,” jawab kami.
“Udah
keliling-keling desa belum?”
“Ya
baru keliling desa sekalian survei mas, buat proker,” setelah basa-basi yang
panjang, ada sesi sedikit serius.
“Aku
nggak maksud gimana-gimana, kalian sudah pernah srawung2 belum?”
“ya
kalau tegur sapa gitu sudah mas, tapi ya kalau sampai ngobrol lama belum,”
“Kalau
di rt lain warga yang tua santai, yang muda mau brisik mau apa malah ikut
diajak ngobrol disuru datang kerumahnya. Lha kalau disini sebaliknya. Yang tua
ngerasa yang muda harus datengin duluan,” Mas Iki bercerita panjang tentang
kebiasaan dan karakteristik warga setempat yang berdekatan dengan posko. Bukan
mendoktrin tapi memberi tahu. Mungkin ada yang titip disampaikan karena tidak
enak hati menegur langsung. Salah kami juga yang ingin dekat, tapi tidak tahu
harus mulai dari mana.
Tidak
terasa waktu berjalan sampai tengah malam. Perut masih kosong, mata berat lelah
seharian. Tidak enak hati makan sendiri karena jumlah lauk yang kami masak pas.
Sudah tak terpikir mana tamu datang diwaktu yang benar atau kami makan diwaktu
yang bukan jamnya.
“Kamu
dari tadi lirak-lirik kenapa?” sahut pemuda lainnya.
“Hehe,
maaf dah laper ngantuk mas,” kata salah satu dari kami.
“Oala
ya nggak ngomong, sambil makan lho nggak papa,” katanya sambil tertawa.
“Ewuh3,
mas,”
“Tak
kasih tau, satu jam pertama i tamu. Dua jam seterusnya anggap kami saudara
sendiri,”
Tengah
dini hari, para pemuda berpamitan. Kami yang sudah cukup lelah memilih berbaring.
Ada juga yang makan malam dahulu. Namun perasaan tidak enak menghampiri. Rasa
tak enak hati mengusir harus ditahan sebab kami tak punya alasan yang lebih
penting lagi. Tidak bermaksud mengusir, tapi lapar dan kantuk tidak
tertahankan. Senang rasanya bisa bertemu berbagi cerita. Meski disisi lainnya
lelah kantuk dan egoisme yang ingin sendiri tetap bagian dari perasaan manusia
yang tidak bisa disembunyikan.Tau tidak sopan, tapi semakin sakit bila tak
ambil keputusan.
Tidak
ada ruang individu dalam bersosialisasi. Selalu ada ruang waktu dan tempat yang
memaksa kita untuk tersenyum dan mendengarkan cerita atau bergiliran cerita. Tidak
ada rasa sendiri dimana kesemuanya saling peduli agar kamu tidak merasa
kesepian.
~~~
Kegiatan
lainnya masih berjalan sampai tenggat waktu KKN selesai. Hari-hari selanjutnya
tetap bahkan lebih padat. Semua program kerja dijalani dan selesai sesuai target.
Apa kelompok kami baik-baik saja? Pasti ada tabrakan. Namun tabrakan itu
menemukan cara untuk memulihkan kembali dan antisipasi agar tak terulang kembali
kesalahan yang sama. Sisanya yang berjalan baik malah terkesan lempeng.
Sebelum
pulang, kami berpamitan. Setiap bertemu siapapun sekarang, tak sungkan menyapa
bahkan sudah saling bisa bercanda. Perasaan asing, lama-lama menjadi kenal. Bahkan
ketidakcocokan dan individualis menjadi lebur bersama keseruan yang terus
dilakukan bersama.
“Pengen
KKN lagi, nggak mau pulang,”
“Bakal
kangen sama kalian,”
“Makasi
banyak buat 45 harinya,”
“Fokus-fokus,
habis ini skripsi haha,”
“Jangan
lupa undang kalau pada wisuda,”
“Undangan
nikah juga si,” ungkap kami bersahutan.
Tangis
perpisahan terlalu malu untuk mengalir. Rasa bahagia menjalar dari senyuman satu
ke semua. Berterima kasih pada Sang Maha yang menyempatkan pengalaman ini dalam
cerita hidup kami. Kami menemukan pertemanan dengan tulus hati disini.
~~~
Keterangan:
1diingatkan
2berinteraksi
3nggak enak hati
Surakarta,
5 Agustus 2022

Comments
Post a Comment